Minggu, 16 September 2012

SEKILAS TENTANG KALIANDRA

SALAH satu usaha penghijauan tanah-tanah pegunungan yang gundul di Jawa Tengah adalah penanaman Calliandra. Karena mungkin belum populer. maka pada awal April lalu ini Perhutani Unit I Jawa Tengah perlu mengadakan tour ke Jawa Timur untuk mengunjungi Gunung Banyak dan desa Toyomarto di daerah Malang. Sebab di lereng Banyak, tanaman tersebut sangat baik hasilnya. Kepada pembantu TEMPO di Semarang, Humas Perhutani Jawa Tengah menjelaskan bahwa jenis tanaman calliandra ini merupakan pionir untuk memberantas tanaman liar seperti alang-alang, tembelekan, gelagah dan kirinya. Banyak mengandung bintil-bintil akar penyubur tanah (Leguminosa), cepat rimbun menutupi tanah, daunnya-mudah lapuk membentuk humus serta penanaman dan pemeliharaannya mudah. Daunnya digemari kambing, dan kayunya sebagai kayu bakar bermutu baik. Ditanam di pinggir jalan, pekarangan-pekarangan rumah, tanggul-tanggul irigasi dan pematang sawah, punya keindahan dengan bunga-bunga cantik . Asalnya dari Guatemala, datang pertama kali tahun 1936 berupa biji, nama aslinya Xilip de Qorcolorado dan kemudian diganti dengan Calliandra callothyrsus Meissen yang berbunga merah. Yang berbunga putih namanya Xilip de Hora Blancos yang datang tahun 1939 dan kemudian diganti nama dengan Calliandra tetragona B. Et. HH. Kedatangannya bukan sekedar sebagai koleksi Kebun Raya Bogor, tetapi telah dicoba penanamannya di Bogor, Cikampek, Pasirhantap, dan Sumberingin. Ir. L. Verhoef menyimpulkan bahwa kaliandra merah dapat mencapai tinggi 3--5 meter tetapi di Jawa Timur pada tahun 1970 bisa 10 meter. Di Jawa Timur disebar-luaskan di daerah Bondowoso, Jember, Malang, Pasuruan, Blitar, Kediri dan lereng Lawu. Di Balapulang Jawa Tengah Perhutani telah menyebar biji-biji kalliandra dengan pesawat terbang. Sebagai penghasil kayu bakar, ternyata melebihi hasil tanaman palawija dengan perbandingan tanaman palawija di tempat yang sama gersangnya. Di kecamatan Singosari Malang dengan penyuluhan dari Perhutani penduduk telah mau menanam kaliandra di tegalannya. Kepala Desa Toyomarto, M. Ambyah menyatakan perbandingannya dengan tanaman palawija di desanya. Kalau 1 hektar sawah dengan biaya Rp 10 ribu panenan pertama dapat 150 meter kubik, panen kedua 200 meter kubik kayu bakar yang setiap meternya laku Rp 600. Sekali tanam kaliandra tersebut terus dipetik selama 10 tahun tanpa pemeliharaan. Sedang kalau tanam palawija tidak akan dapat dan perlu tenaga pemeliharaan yang rajin. Misalnya tanaman Jagung, setahun dengan biaya sekitar Rp 25 ribu, hasilnya tidak lebih dari Rp 45 ribu, belum nanti kalau diserang hama. Dengan banyaknya tanaman kaliandra, di desanya tidak lagi ada berita rakyatnya mencuri kayu dari hutan-hutan sekitarnya. Dengan berhasilnya pengembangan tanaman kaliandra itu Direksi Perum Perhutani Jakarta telah memberikan tanda penghargaan berupa uang dan transistor kepada Kepala Desa Toyomarto serta seorang penduduk bernama Dasmi yang mula-mula mempelopori penanaman kaliandra sejak 1959 dan kemudian ditim oleh Kepala Desa tersebut. Sarjana Kehutanan Ir. Apandi Mangundikoro menekankan agar memperhatikan tanah-tanah kosong yang membentang luas di daerah-daerah aliran sungai-sungai penting. Diambil contoh sepanjang Bengawan Solo yang benar-benar sudah kritis yang selalu terlanda banjir baik yang areal hutan maupun milik rakyat yang perlu dihijaukan atau dihutankan kembali. Sebuah masalah dikemukakan. Tanah yang sudah kritis dan luas itu umumnya tidak memperoleh "cukup angin" dalam pelaksanaan penghutanan kembali (reboisasi). Dan dengan keadaan lapangan yang terjal, kwalitas tanah sudah sangat merosot, tentu saja tanaman palawija dengan sistim tumpang-sari kurang menyenangkan. Ditambah letak tanah yang terpencil jauh dari pedesaan hingga sulit memperoleh tenaga pengontrak yang diperlukan. Jadi tanah kawasan hutan yang mempunyai kondisi sama dibutuhkan jenis pohon atau tanaman yang memenuhi persyaratan tertentu yang memiliki sifat tanaman pionir, mudah ditanam, dan pemeliharaannya melindungi tanah serta lapangan secara efektif. Tiga syarat itu sementara cukup, sekalipun lebih baik lagi bila dilengkapi sifat-sifat ekonomis. Sebab ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam hubungan dengan tujuan yang pokok dalam reboisasi, nilai ekonomi itu bukan merupakan hal yang penting, tetapi barangkali bisa ditambahkan, setidak-tidaknya sampai dicapai kondisi pulihnya kembali kesuburan tanah. Dalam hal tersebut maka fihak Perhutani sudah sejak lama menanami tanah hutannya denan pinus, kayu putih, murbei, rumput gajah. Tetapi tanah di luar kawasan hutan perlu dihijaukan dengan tanaman-tanaman lamtoro, turi dan kaliandra. Camat Parakan, Kabupaten Temaggung setelah melihat kaliandra di Malang mengatakan akan memanfaatkannya sebagai "isolasi" tanaman tembakau rakyatnya di lereng gunung Sindoro dan Sumbing, yang hampir setiap tahun hutannya terbakar. Lain halnya dengan Camat Batuwarno, akan memberi penjelasan terlebih dulu kepada rakyatnya yang banyak beternak kambing, sehingga perlu menanam kaliandra. Masalah hasil kayu bakarnya, masih fikir-fikir, mengingat sulitnya komunikasi tidak seperti di Toyomarto Malang. Meskipun demikian, para kepala Desa serta Camat yang punya daerah di pegunungan ini sama berpendapat pentingnya kaliandra guna menahan erosi serta- memelihara kesuburan tanah dan menghindari banjir besar, sehingga perlu ditanam. Puncak gunung Kelud yang meletus tahun 1965 sekarang jadi hutan kaliandra yang tingginya bisa mencapai 10 meter. Memang kaliandra bisa tumbuh di iklim basah denan curah hujan kurang lebih 1000 mm/tahun pada ketinggian 150--1500 dari permukaan laut, di segala jenis tanah terutama yang cukup zat asam. 

    

1 komentar:

  1. mari hijaukan bumi kita,
    dengan menanam kaliandra ataupun tanaman kehutanan lainnya,
    kita turut berpartisipasi untuk menyelamatkan bumi tercinta ini..
    bibit tanaman buah (bibit jeruk,kelengkeng,durian dll)

    BalasHapus