SALAH satu usaha penghijauan
tanah-tanah pegunungan yang gundul di Jawa Tengah adalah penanaman
Calliandra. Karena mungkin belum populer. maka pada awal April lalu ini
Perhutani Unit I Jawa Tengah perlu mengadakan tour ke Jawa Timur untuk
mengunjungi Gunung Banyak dan desa Toyomarto di daerah Malang. Sebab di
lereng Banyak, tanaman tersebut sangat baik hasilnya. Kepada pembantu
TEMPO di Semarang, Humas Perhutani Jawa Tengah menjelaskan bahwa jenis
tanaman calliandra ini merupakan pionir untuk memberantas tanaman liar
seperti alang-alang, tembelekan, gelagah dan kirinya. Banyak mengandung
bintil-bintil akar penyubur tanah (Leguminosa), cepat rimbun menutupi
tanah, daunnya-mudah lapuk membentuk humus serta penanaman dan
pemeliharaannya mudah. Daunnya digemari kambing, dan kayunya sebagai
kayu bakar bermutu baik. Ditanam di pinggir jalan, pekarangan-pekarangan
rumah, tanggul-tanggul irigasi dan pematang sawah, punya keindahan
dengan bunga-bunga cantik . Asalnya dari Guatemala, datang pertama kali
tahun 1936 berupa biji, nama aslinya Xilip de Qorcolorado dan kemudian
diganti dengan Calliandra callothyrsus Meissen yang berbunga merah. Yang
berbunga putih namanya Xilip de Hora Blancos yang datang tahun 1939 dan
kemudian diganti nama dengan Calliandra tetragona B. Et. HH.
Kedatangannya bukan sekedar sebagai koleksi Kebun Raya Bogor, tetapi
telah dicoba penanamannya di Bogor, Cikampek, Pasirhantap, dan
Sumberingin. Ir. L. Verhoef menyimpulkan bahwa kaliandra merah dapat
mencapai tinggi 3--5 meter tetapi di Jawa Timur pada tahun 1970 bisa 10
meter. Di Jawa Timur disebar-luaskan di daerah Bondowoso, Jember,
Malang, Pasuruan, Blitar, Kediri dan lereng Lawu. Di Balapulang Jawa
Tengah Perhutani telah menyebar biji-biji kalliandra dengan pesawat
terbang. Sebagai penghasil kayu bakar, ternyata melebihi hasil tanaman
palawija dengan perbandingan tanaman palawija di tempat yang sama
gersangnya. Di kecamatan Singosari Malang dengan penyuluhan dari
Perhutani penduduk telah mau menanam kaliandra di tegalannya. Kepala
Desa Toyomarto, M. Ambyah menyatakan perbandingannya dengan tanaman
palawija di desanya. Kalau 1 hektar sawah dengan biaya Rp 10 ribu
panenan pertama dapat 150 meter kubik, panen kedua 200 meter kubik kayu
bakar yang setiap meternya laku Rp 600. Sekali tanam kaliandra tersebut
terus dipetik selama 10 tahun tanpa pemeliharaan. Sedang kalau tanam
palawija tidak akan dapat dan perlu tenaga pemeliharaan yang rajin.
Misalnya tanaman Jagung, setahun dengan biaya sekitar Rp 25 ribu,
hasilnya tidak lebih dari Rp 45 ribu, belum nanti kalau diserang hama.
Dengan banyaknya tanaman kaliandra, di desanya tidak lagi ada berita
rakyatnya mencuri kayu dari hutan-hutan sekitarnya. Dengan berhasilnya
pengembangan tanaman kaliandra itu Direksi Perum Perhutani Jakarta telah
memberikan tanda penghargaan berupa uang dan transistor kepada Kepala
Desa Toyomarto serta seorang penduduk bernama Dasmi yang mula-mula
mempelopori penanaman kaliandra sejak 1959 dan kemudian ditim oleh
Kepala Desa tersebut. Sarjana Kehutanan Ir. Apandi Mangundikoro
menekankan agar memperhatikan tanah-tanah kosong yang membentang luas di
daerah-daerah aliran sungai-sungai penting. Diambil contoh sepanjang
Bengawan Solo yang benar-benar sudah kritis yang selalu terlanda banjir
baik yang areal hutan maupun milik rakyat yang perlu dihijaukan atau
dihutankan kembali. Sebuah masalah dikemukakan. Tanah yang sudah kritis
dan luas itu umumnya tidak memperoleh "cukup angin" dalam pelaksanaan
penghutanan kembali (reboisasi). Dan dengan keadaan lapangan yang
terjal, kwalitas tanah sudah sangat merosot, tentu saja tanaman palawija
dengan sistim tumpang-sari kurang menyenangkan. Ditambah letak tanah
yang terpencil jauh dari pedesaan hingga sulit memperoleh tenaga
pengontrak yang diperlukan. Jadi tanah kawasan hutan yang mempunyai
kondisi sama dibutuhkan jenis pohon atau tanaman yang memenuhi
persyaratan tertentu yang memiliki sifat tanaman pionir, mudah ditanam,
dan pemeliharaannya melindungi tanah serta lapangan secara efektif. Tiga
syarat itu sementara cukup, sekalipun lebih baik lagi bila dilengkapi
sifat-sifat ekonomis. Sebab ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam
hubungan dengan tujuan yang pokok dalam reboisasi, nilai ekonomi itu
bukan merupakan hal yang penting, tetapi barangkali bisa ditambahkan,
setidak-tidaknya sampai dicapai kondisi pulihnya kembali kesuburan
tanah. Dalam hal tersebut maka fihak Perhutani sudah sejak lama menanami
tanah hutannya denan pinus, kayu putih, murbei, rumput gajah. Tetapi
tanah di luar kawasan hutan perlu dihijaukan dengan tanaman-tanaman
lamtoro, turi dan kaliandra. Camat Parakan, Kabupaten Temaggung setelah
melihat kaliandra di Malang mengatakan akan memanfaatkannya sebagai
"isolasi" tanaman tembakau rakyatnya di lereng gunung Sindoro dan
Sumbing, yang hampir setiap tahun hutannya terbakar. Lain halnya dengan
Camat Batuwarno, akan memberi penjelasan terlebih dulu kepada rakyatnya
yang banyak beternak kambing, sehingga perlu menanam kaliandra. Masalah
hasil kayu bakarnya, masih fikir-fikir, mengingat sulitnya komunikasi
tidak seperti di Toyomarto Malang. Meskipun demikian, para kepala Desa
serta Camat yang punya daerah di pegunungan ini sama berpendapat
pentingnya kaliandra guna menahan erosi serta- memelihara kesuburan
tanah dan menghindari banjir besar, sehingga perlu ditanam. Puncak
gunung Kelud yang meletus tahun 1965 sekarang jadi hutan kaliandra yang
tingginya bisa mencapai 10 meter. Memang kaliandra bisa tumbuh di iklim
basah denan curah hujan kurang lebih 1000 mm/tahun pada ketinggian
150--1500 dari permukaan laut, di segala jenis tanah terutama yang cukup
zat asam.
mari hijaukan bumi kita,
BalasHapusdengan menanam kaliandra ataupun tanaman kehutanan lainnya,
kita turut berpartisipasi untuk menyelamatkan bumi tercinta ini..
bibit tanaman buah (bibit jeruk,kelengkeng,durian dll)